Kearifan Lokal; Seberapa Arif?

Tidak sedikit yang menganggap budaya lokal (local culture) sebagai simbol keterbelakangan, penghalang kemajuan dan tidak sesuai dengan kemajuan. Untuk menjadi modern, segala hal yang berbau lokal mesti ditanggalkan. Lambat laun budaya lokal kehilangan pesonanya, bahkan bagi masyarakat pemiliknya. Ironisnya, sayap puritan agama-agama besar (world religions), dalam batas tertentu, ternyata turut berkontribusi dalam meminggirkan budaya lokal tersebut. Tidak jarang agama-agama besar dunia menilai tradisi lokal sebagai hal yang mengotori praktik keberagamaan yang autentik.

Asumsi tersebut berkembang pada abad 20an, ketika modernitas menjadi perspektif dominan dalam mengkaji kebudayaan. Kini, saat modernitas dengan developmentalism theory-nya mendapat kritik, serta lahirnya teori dan perspektif baru dalam mengkaji kebudayaan –seperti post-modernism, post-traditionalism, multiple-modernity–, kebudayaan lokal seolah menemukan momentum untuk bangkit. Budaya lokal tidak lagi dipandang sebagai bentuk keterbelakangan, namun sebagai sumber kearifan hidup atau local wisdom. Kritik terhadap masyarakat modern yang kering secara spiritual akibat terlalu bersandar pada rasionalitas telah mendorong sebagian manusia modern mencari alternatif. Alternatif tersebut mereka temukan dalam tradisi lokal yang dinilai memiliki kekayaan luar biasa dalam memberikan hikmah hidup di balik ekpresinya yang sederhana. Continue reading “Kearifan Lokal; Seberapa Arif?”